Ragam

Ketika Mahasiswa Asing Belajar Sejarah Samarinda, Kisah Mahabharata hingga Sebutan dari Yunani

person access_time 4 years ago
Ketika Mahasiswa Asing Belajar Sejarah Samarinda, Kisah Mahabharata hingga Sebutan dari Yunani

Mahasiswa dari mancanegara mempelajari sejarah Samarinda (muhammad sarip for kaltimkece.id)

Lima mahasiswa dari mancanegara. Belajar sejarah Samarinda.

Ditulis Oleh: .
Selasa, 05 November 2019

Oleh: Muhammad Sarip (penggiat literasi sejarah Samarinda dan Kutai)

kaltimkece.id Mereka semua dari luar negeri. Baru dua bulan, mahasiswa-mahasiswa ini tinggal di Indonesia. Para pemuda dan pemudi ini mengikuti Program Darmasiswa Republik Indonesia (DRI) kelas Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing atau BIPA.

Jumat, 1 November 2019, keempat mahasiswa berbeda negara itu datang ke sebuah kantor penerbit buku di Samarinda. Sukemi, dosen Universitas Mulawarman dari Unit Pelaksana Teknis Layanan Internasional turut mendampingi. Rombongan ini kemudian menyimak presentasi sejarah Kota Samarinda yang saya sampaikan.

Kehidupan di Samarinda bermula dari enam negeri kuno pada kisaran abad ke-13. Keenam negeri itu kemudian dikenal dengan nama Kampung Sambutan, Pulau Atas, Karang Mumus, Karang Asam, Loa Bakung, dan Mangkupalas. Kemudian, penetrasi Banjar sejak berdirinya Kerajaan Hindu-Banjar abad ke-15 berdampak signifikan kepada tatanan sosial-budaya masyarakat Samarinda.

Berikutnya, orang-orang Bugis mulai bermukim di wilayah Samarinda Seberang pada abad ke-18. Masuknya Belanda pada pertengahan abad ke-19 mengubah arah politik dan birokrasi Kota Samarinda. Samarinda menjadi pusat pemerintahan kolonial Belanda hingga Jepang menaklukkan Belanda pada 1942. Empat tahun kemudian, Belanda kembali menguasai Samarinda sampai akhir 1949.

Presentasi dilanjutkan dengan tanya jawab. Mahasiswa asing itu baru belajar bahasa Indonesia. Hamadou Alioum yang paling mendingan, berupaya bercakap menggunakan bahasa Indonesia. Mahasiswa dari Kamerun ini menunjuk potret Abdoel Moeis Hassan yang terpajang di dinding kantor. Ia bertanya, siapakah tokoh tersebut?

Saya terangkan bahwa Moeis Hassan adalah pemimpin perjuangan rakyat Kaltim melawan kolonialisme. Namanya sedang dalam proses usulan sebagai Pahlawan Nasional.

Hamadou bertanya lagi. Adakah tokoh perempuan dalam perjuangan melawan kolonialisme di Samarinda? Tentu saja ada. Di antaranya, yang gambarnya tergabung dalam foto bersama organisasi Rukun Pemuda Indonesia, yang didirikan oleh Moeis Hassan. Di dalam potret, ada lima perempuan pengurus Rupindo, yakni Halimatussa’diyah, Maryani, Isnaniah, A’ad Sangadji, dan Salbiah.

Sementara Dushyant, mahasiswa dari India, tidak mengajukan pertanyaan. Saya yang lantas bertanya. Di benak saya tentang India yang utama adalah Mahabharata. Karya epos klasik ini difilmkan oleh banyak rumah produksi di negara Asia Selatan tersebut.

Yang paling diminati masyarakat Indonesia adalah Mahabharata versi sinetron 2013. Hal ini karena serial 267 episode tersebut diperankan para aktor dan aktris muda yang memenuhi selera mayoritas pemirsa negeri +62. Sebut saja Shaheer Sheikh dan Pooja Sharma yang pernah diundang ke Indonesia.

Saya tanyakan kepada Dushyant tentang sinema tersebut. Pemuda berkaca mata itu mengungkapkan, “Mahabharat” 2013 itu tak bagus dalam hal konten cerita. Kata Dushyant, serial tersebut banyak menyimpang dari kitab asli Mahabharata. Yang ceritanya sesuai menurutnya, adalah serial “Mahabharat” versi 1990.

Adapun Amonulloi Abdulmanon, mahasiswa dari Tajikistan ini punya kesan spesial. Kali pertama masuk, pemuda dari negara pecahan Uni Soviet berucap “Assalamualaikum”. Ternyata, ia memang muslim. Negaranya terletak di sebelah barat daratan Tiongkok.

Mahasiswa yang datangnya terakhir adalah Ermioni Vlachidou. Ia kuliah di jurusan jurnalistik dan media di Universitas Aristoteles Yunani. Pantas saja, pertanyaan yang diajukannya seperti wartawan yang menginterogasi narasumber.

Fokus persoalan yang diajukan Ermioni seputar Tionghoa di Samarinda. Ia bertanya letak permukiman penduduk keturunan Tionghoa di ibu kota Kalimantan Timur dan interaksinya dengan etnik lainnya. Saya jawab, lokasi etnik Tionghoa dikhususkan oleh pemerintah Belanda di kawasan pusat perdagangan dan Pelabuhan Samarinda.

Secara khusus, perempuan 22 tahun ini bertanya tentang efek dari konflik rasial yang terjadi di Indonesia pada 1998, apakah juga berdampak di Samarinda. Saya jawab, kerusuhan besar jelang jatuhnya Presiden Soeharto tersebut di banyak kota di Indonesia tidak terjadi di Samarinda. Saya katakan, dibanding kota lain di Kalimantan, Samarinda relatif aman dari konflik horizontal.

Peran Kota Samarinda dalam pemindahan ibu kota negara Indonesia juga ditanyakan. Saya agak terkejut dengan pertanyaan ini. Sambil bercanda saya bilang, pertanyaan ini cocoknya menjadi tema seminar tersendiri.

Selepas menjawab beberapa pertanyaan, saya balik bertanya kepada Ermioni. Mengapa nama Greece di Indonesia menjadi Yunani. Ia menjawab, prosesnya panjang. Greece lebih populer sebagai nama internasional negaranya, walaupun bukan Greece nama asli versi penduduk negaranya.

Perempuan pirang itu juga bercerita ketika tim nasional sepak bola Yunani menjuarai Euro 2004. Ia menontonnya di televisi. Waktu itu, Yunani adalah tim yang tidak punya reputasi hebat di sepak bola tapi secara mengejutkan tampil di final. Tuan rumah Portugal yang diperkuat Cristiano Ronaldo saat itu sangat diunggulkan. Tapi, Negeri Para Dewa, Greece, yang jadi juara.

Selepas pertemuan, saya teringat artikel di media Hong Kong South China Morning Post yang mengulas kehidupan Tionghoa di Kaltim. Artikel tersebut baru terbit Oktober 2019. Sebagian kontennya berdasarkan wawancara jurnalis SCMP dengan saya. Tautan artikelnya saya kirimkan kepada Ermioni melalui WhatsApp. Ia pun merespons dengan beberapa kalimat campuran Indonesia dan Inggris. Wah, buka Google Translate dulu. (*)

Editor: Fel GM

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar