Ragam

Motor Listrik? Kami Perlu Transportasi Publik!

person access_time 1 year ago
Motor Listrik? Kami Perlu Transportasi Publik!

Kepadatan lalu lintas di Simpang Lembuswana pada sore hari. FOTO: MUHIBAR SOBARY ARDAN-KALTIMKECE.ID

Sepeda motor di Samarinda bertambah 285 ribu unit atau naik 46,49 persen dalam setahun. Kota ini lebih memerlukan transportasi publik alih-alih subsidi kendaraan listrik.

Ditulis Oleh: Fel GM
Selasa, 07 Maret 2023

kaltimkece.id Nur Jannah adalah seorang gadis yang tinggal di perbatasan Samarinda dengan Kutai Kartanegara di Loa Janan. Pegawai administrasi sebuah lembaga yang biasa disapa Ojan itu berkantor di Jalan Juanda II. Ia berkendara sejauh 20 kilometer setiap hari dengan sepeda motor Honda Vario keluaran 2013.

Kepada kaltimkece.id, Ojan mengatakan bahwa ia mengisi bahan bakar saban dua kali sepekan. Sebanyak 3,5 liter pertalite atau Rp 42.000 ia keluarkan setiap kali mengisi di pom mini. Ia tak punya banyak waktu untuk mengantre di SPBU. 

“Pengeluaran BBM dalam seminggu sekitar Rp 84.000 atau Rp 360 ribu sebulan,” terang Ojan. Biaya itu belum termasuk untuk mengganti pelumas, servis berkala, membeli jas hujan, dan mengganti helm yang kadang-kadang hilang.

Ojan adalah satu dari antara ratusan ribu warga Samarinda yang setiap hari berkendara roda dua. Pertumbuhan sepeda motor di kota ini memang luar biasa. Menurut laporan Badan Pusat Statistik Kaltim, jumlah sepeda motor pada 2021 sebanyak 613.547 unit. Besarannya menjadi 898.838 sepeda motor pada 2022 atau bertambah 285 ribu unit (46,49 persen). 

Pertumbuhan kendaraan roda empat tidak “segila” itu. Mobil penumpang di Samarinda sebanyak 142.465 unit pada 2021 menjadi 142.592 pada 2022. Yang jelas, kenaikan jumlah roda dua di Samarinda tidak diimbangi pertambahan ruas jalan. Masih menurut catatan BPS Kaltim, panjang jalan di Samarinda justru berkurang sepanjang lima tahun terakhir. Pada 2018, panjang jalan di Kota Tepian 1.030 kilometer, sementara pada 2021 hanya 924 kilometer.

kaltimkece.id menghitung kepadatan lalu lintas di Samarinda dari data-data tersebut. Sebuah sepeda motor memakan ruang jalan seluas 0,6 meter persegi. Sementara itu, luas rata-rata penampang mobil penumpang berkabin tiga adalah 6 meter persegi. Jumlah sepeda motor di Samarinda sebanyak 898.838 unit. Penampang yang diperlukan untuk seluruh roda dua yaitu 539 ribu meter persegi, setara lahan untuk selusin Islamic Center. 

Memakai formula yang sama, ruang jalan untuk kendaraan roda empat di Samarinda adalah 852 ribu meter persegi. Perlu 114 lapangan sepak bola untuk menampung semuanya. Masih ada satu lagi jenis kendaraan yang perlu dihitung luas penampangnya yaitu truk. Jumlah kendaraan besar ini 84.692 unit pada 2022 di Samarinda. Dimensi rata-rata satu truk yaitu 8,4 meter persegi sehingga luas penampang seluruh truk adalah 711 ribu meter persegi. 

Dengan demikian, luas ruang untuk ketiga jenis kendaraan di atas adalah 2,10 juta meter persegi atau 2,1 kilometer persegi. Perlu tiga kompleks Stadion Utama Kaltim di Palaran (termasuk semua gelanggangnya) untuk menampung sepeda motor, mobil, dan truk di Samarinda.

DESAIN GRAFIK: M IMTINAN NAUVAL-KALTIMKECE.ID
 

Selanjutnya adalah mengukur kapasitas jalan Samarinda. Dari 924 kilometer panjang jalan pada 2021, terdiri dari jalan negara/nasional 52,38 km, jalan provinsi 163 km, dan jalan kota/lingkungan 709,23 km. kaltimkece.id memakai asumsi untuk menentukan lebar jalan karena nilainya sangat bervariasi. Lebar jalan nasional (biasanya dua jalur enam lajur) 12 meter, lebar jalan provinsi (dua jalur dua lajur) 6 meter, dan lebar jalan kota/lingkungan (dua jalur dua lajur) adalah 3 meter. 

Dengan demikian, kapasitas jalan di Samarinda terdiri dari 624 ribu meter persegi jalan nasional, 978 ribu meter persegi jalan provinsi, dan 2,1 juta meter persegi jalan lingkungan. Total kapasitasnya adalah 3,72 juta meter persegi atau 3,72 kilometer persegi. 

Rasio luas penampang seluruh kendaraan (2,1 km persegi) dengan kapasitas jalan (3,72 km persegi) adalah 56,57 persen. Dalam kalimat lain, lebih dari setengah jalan Kota Tepian akan macet total apabila seluruh kendaraan tumpah ke jalan pada saat bersamaan. Samarinda juga bisa mengalami kemacetan lalu lintas total lima tahun mendatang. Apabila proyeksi pertumbuhan kendaraan seperti sekarang tidak disertai penambahan ruas jalan, rasio 56,57 persen tadi akan menyentuh 90 persen pada 2028.

DESAIN GRAFIK: M IMTINAN NAUVAL-KALTIMKECE.ID
 

Dalam kenyataannya, kepadatan di sejumlah titik sudah bisa dilihat mengingat banyak kendaraan terkonsentrasi di jalur dan waktu tertentu. Jalan Ir H Juanda pada jam-jam sibuk dapat dijadikan contoh. Menurut riset Badan Penelitian dan Pengembangan Kaltim pada 2018, jalur Air Hitam-Air Putih memiliki tingkat pelayanan jalan terburuk. Derajat kejenuhannya 1,024 atau kategori F. Arus kendaraan terhambat, kecepatan rendah, volume di atas kapasitas, dan durasi kemacetan yang panjang.

Pentingnya Transportasi Massal

Kepadatan lalu lintas karena kendaraan pribadi banyak ditemukan di kota-kota di Indonesia. Masalah utamanya, penduduk tidak memiliki alternatif selain mengemudikan kendaraan sendiri. 

“Secara teori, ini disebabkan oleh perencanaan transportasi untuk kota yang belum berstatus metropolis atau populasinya masih di bawah satu juta jiwa. Perencanaan transportasinya menggunakan konsep kewilayahan,” demikian Farid Nurrahman, pemerhati sekaligus peneliti di bidang rencana tata kota. 

Dalam konsep ini, perencana menghitung mobilitas masyarakat berdasarkan wilayah yaitu dari satu titik keramaian ke titik keramaian terdekat. Hasil akhirnya bisa dilihat dari pengaturan trayek angkutan kota. Karakteristik transportasi sublokal ini tidak mencakup kota secara keseluruhan. Itu sebabnya, seseorang bisa berpindah angkot berkali-kali apabila bepergian di luar dari mobilitas utama. 

“Kota-kota seperti Samarinda dan Balikpapan akhirnya cenderung ke moda transportasi umum, bukan transportasi massal,” jelas planolog jebolan Universitas of Greenwich, London, Inggris, tersebut.  

Moda transportasi umum ini kemudian kalah bersaing dengan kendaraan pribadi. Selain lebih luwes atau bisa pergi ke mana saja, kendaraan pribadi mudah dimiliki. Moda transportasi kian individualistis sehingga lalu lintas makin padat. “Masalahnya sekarang, Samarinda segera menjadi kota metropolitan. Belum lagi kepindahan IKN. Artinya, sudah saatnya mengkaji transportasi massal bagi publik,” saran dia. 

Farid Nurrahman, planolog tata kota yang tinggal di Samarinda. FOTO: ARSIP KALTIMKECE.ID 
 

Hampir semua kota modern di dunia punya moda transportasi massal. Untuk ukuran Indonesia, Jabodetabek dan Palembang sudah memilikinya. Setidaknya ada empat jenis moda transportasi massal. Ada mass rapid transit (MRT), light rapid transit (LRT), bus rapid transit (BRT), dan automatic-rail rapid transit

London dan Bangkok dijadikan permisalan oleh Farid. Transportasi massal di ibu kota Inggris itu dirancang sejak 1840. Populasi London masih di bawah tiga juta jiwa. Transportasi massal dibangun 100 tahun sebelum populasi London membeludak. Hasilnya adalah kota Raja Charles itu dianggap sebagai daerah dengan manajemen transportasi terbaik di dunia. 

Bangkok juga bisa dijadikan pelajaran. Ibu kota Thailand itu baru saja mengoperasikan jalur MRT. Menurut penelitian terbaru, kata Farid, kemacetan berkurang hingga 85 persen. 

“Samarinda bisa memulainya. Misalkan, menyiapkan bus sekolah khusus pelajar. Ini akan mengurangi kepadatan lalu lintas cukup besar,” usul Farid. Di samping itu, kebiasaan menggunakan transportasi publik sejak kecil bisa mengubah karakter. Ketika dewasa, mereka akan terbiasa. 

Kok, Motor Listrik?

Di tengah ancaman kemacetan total di berbagai kota di Indonesia, pemerintah pusat justru mengeluarkan kebijakan subsidi sepeda motor listrik. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menjelaskan, masyarakat mendapat subsidi motor listrik Rp 7 juta. Penyaluran subsidi ditargetkan untuk 200 ribu motor listrik baru pada tahun ini. 

Masyarakat bisa mendatangi diler motor listrik dengan membawa KTP. Satu nomor induk kependudukan (NIK) berhak menerima subsidi untuk satu motor. Bila memenuhi syarat, diler mengajukan klaim subsidi ke himpunan bank negara atau Himbara.

“Kebijakan ini bertolak belakang dengan konsep ibu kota Nusantara. Bukannya mendorong transportasi massal, subsidi motor listrik berpotensi menambah kemacetan,” terang Farid selaku planolog. 

DESAIN GRAFIK: M IMTINAN NAUVAL-KALTIMKECE.ID
 

Belum ada kejelasan kelanjutan program ini untuk tahun-tahun berikutnya. Akan tetapi, subsidi ini jelas amat besar. Sebagai permisalan, apabila 75 persen sepeda motor di Samarinda atau 673 ribu unit beralih ke kendaraan listrik, subsidi yang harus disiapkan adalah Rp 4,71 triliun. Terlepas dari penghematan biaya bahan bakar maupun pengurangan gas emisi, kebijakan ini berpotensi mempercepat kemacetan total. Alih-alih buat subsidi sepeda motor listrik, dana Rp 4,71 triliun tadi bisa dialihkan untuk membangun transportasi massal di Samarinda. 

Putra dalam Jurnal Transportasi Multimoda (2021) memerinci biaya pembangunan tersebut. MRT adalah yang termahal yaitu Rp 1 triliun per km, biaya pembangunan LRT Rp 484 miliar per km, BRT (bus listrik) Rp 194 miliar per km, dan ART sebesar Rp 63 miliar per km. 

Seberapa besar potensi subsidi Rp 4,71 triliun tadi apabila dialihkan untuk membangun transportasi massal? Dana itu cukup membangun jalur 5 km MRT, LRT sejauh 9,7 km, jalur bus listrik 24 km, atau ART sepanjang 74 km di Kota Tepian. Asumsikan saja Samarinda membangun BRT. Kota ini akan memiliki bus listrik yang melayani sejumlah halte. Transjakarta bisa dipakai sebagai gambaran yang paling dekat. 

DESAIN GRAFIK: M IMTINAN NAUVAL-KALTIMKECE.ID
 

Jalur bus listrik sepanjang 24 km itu bisa dibagi menjadi tiga koridor. Pusat kota (sekitar Pasar Pagi) akan menjadi titik sentralnya seperti halte Harmoni di Jakarta Pusat. Koridor pertama adalah pusat kota-Simpang Sempaja sejauh 7 km. Koridor kedua yaitu pusat kota menuju Simpang Kadrie Oening-Jalan P Suryanata sejauh 7,9 km. Koridor terakhir adalah dari pusat kota-Sambutan sejauh 6,7 km. Tiga koridor ini saja sudah melayani hampir setengah dari lalu lintas terpadat di Samarinda. 

Kembali ke kisah Ojan yang menjadi pembuka artikel ini. Apabila transportasi umum tersedia dari Jembatan Mahakam menuju Jalan Juanda, ia hanya perlu berkendara 4 km setiap hari. Pengeluarannya untuk BBM akan berkurang 75 persen atau hanya Rp 90 ribu sebulan. Sementara untuk ongkos sekali naik bus listrik adalah Rp 3.500, disamakan tarif Transjakarta. Ojan hanya perlu menambah Rp 154 ribu per bulan. 

Transportasi publik akan menghemat pengeluarannya sebesar Rp 116 ribu setiap bulan. Ia tidak akan terkena macet, panas matahari, maupun hujan. Tiga hal itu masih akan Ojan jumpai sepanjang tidak ada transportasi massal yang tersedia. Ia tetap terjebak macet, kepanasan, dan kehujanan, walaupun sepeda motornya digerakkan tenaga listrik. (*)

Dilengkapi oleh: Muhibar Sobary Ardan 

Senarai Kepustakaan

  • Adi, Ari Sasmoko. 2018. Analisis Kepadatan Arus Kendaraan di Kaki Simpangan Jalan Ir H Juanda Kota Samarinda, Samarinda: Balitbang Prov Kaltim 
  • Badan Pusat Statistik Kaltim. 2023. Kaltim Dalam Angka 2023. Samarinda: BPS Kaltim
  • Badan Pusat Statistik Kaltim. 2021. Kaltim Dalam Angka 2021. Samarinda: BPS Kaltim
  • Putra, Hasriwan. 2021. Perbandingan Biaya Pembangunan Per Kilometer-Trayek di Antara Moda Jalan dan Moda Rel pada Transportasi Perkotaan. Jurnal Transportasi Multimoda Vol. 19 (2021).
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar