Terkini

Drama Hidup Penghuni Balai Rehabilitasi yang Akhirnya Lepas dari Cengkeram Jahat Narkoba

person access_time 4 years ago
Drama Hidup Penghuni Balai Rehabilitasi yang Akhirnya Lepas dari Cengkeram Jahat Narkoba

Balai Rehabilitasi BNN di Tanah Merah. (giarti ibnu lestar/kaltimkece.id)

Berawal dari coba-coba, berujung cobaan yang sulit dilepaskan. Sebagian lagi terjerat karena terjebak.

Ditulis Oleh: Giarti Ibnu Lestari
Selasa, 20 Agustus 2019

kaltimkece.id Bunga, panggil saja nama gadis ini demikian, baru berusia 14 tahun ketika menginjakkan kakinya di Samarinda. Seorang tetangganya di Madura, Jawa Timur, mengajaknya merantau ke Bumi Mulawarman. Keputusan Bunga mengiyakan ajakan itulah yang menjadi permulaan jalan hidupnya yang kelam.

Pada pertengahan 2009 ketika Bunga sampai di Kota Tepian, ia telah bermimpi mendapatkan pekerjaan yang layak. Dan tentu saja mendapatkan uang. Bunga tak sadar, ia hanya gadis 14 tahun yang belum memiliki kemampuan apapun. Bunga tidak pernah sekolah. Berkomunikasi dengan bahasa Indonesia pun tak bisa. Namun, demi menjadi tulang punggung keluarga, perempuan berkulit putih dengan rambut hitam yang tebal ini tetap berangkat. Merantau tanpa pernah tahu risiko yang mengintainya.

Sang jiran tadi menjanjikan kepada Bunga sebuah pekerjaan di sebuah restoran di Samarinda. Janji yang ternyata hanya tipuan. Sebagai orang yang satu-satunya Bunga kenal di perantauan, si tetangga malah membawa Bunga ke kompleks pelacuran. Bunga dimasukkan ke rumah bordil. Tubuhnya pun seperti barang dagangan, ditawarkan kepada para lelaki hidung belang.

Tak cukup kehormatannya yang dijual, Bunga dipaksa mengonsumsi narkoba. Begitulah perintah muncikari kepadanya. Bunga diminta tampil paripurna di hadapan pelanggan. Dia harus menyenangkan para lelaki berhidung belang yang kebanyakan mengisap sabu-sabu sebelum berhubungan intim. Bunga pun makin tenggelam di dalamnya lubang hitam. Ia menjadi pecandu berat sabu-sabu.

“Hasil kerja di situ (sebagai pekerja seks komersial) memang banyak. Saya bisa membayar utang keluarga,” kisah Bunga ketika ditemui kaltimkece.id di Balai Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional. Balai ini berdiri di jalan poros Samarinda-Bontang Kilometer 6, Kelurahan Tanah Merah, Samarinda Utara.

Kehidupan Bunga semakin berkuah air mata. Bukan saja tubuhnya yang semakin rusak karena narkoba, masa depannya dihancurkan. Bunga mengaku telah 14 kali menikah. Perkawinan demi perkawinan itu dijalani demi pengakuan masyarakat supaya tak mencercanya dengan kalimat zina. Bunga biasanya terikat selama satu atau dua bulan di setiap pernikahan. Ia dibayar Rp 10 juta per bulan dari setiap pernikahannya.

Bunga hidup dalam dunia yang gelap selama sembilan tahun sampai ia berusia 23 tahun. Depresi menyergap karena tak ada orang yang bisa diajak berbagai cerita. Bunga mulai menyakiti diri sendiri sampai mencoba bunuh diri. Sekali waktu, ia berniat merangkak dari lembah hitam termasuk menjauhi narkoba. Niat itu runtuh ketika bujuk rayu rupiah datang dan sulit untuk ditolak lagi.

Sampai hari itu tiba. Seorang laki-laki hendak memperistri Bunga. Pria itu ingin membawa Bunga pulang ke kampung halaman. Ada janji terselip yaitu membawa Bunga dalam kebaikan dan menjalani kehidupan normal. Bunga gembira sekali. Ia mengiyakan ajakan tersebut.

Baru sejenak menikah, terbongkar semuanya. Suami Bunga ternyata bandar narkoba. Bunga memang sudah meninggalkan dunia prostitusi, tetapi ia tetap mengonsumsi sabu-sabu. Dia juga tidak pernah dibawa ke kampung halaman. Bunga menetap di Samarinda. Kisahnya berakhir ketika polisi meringkus Bunga pada September 2018 di sebuah kamar hotel. Narkotika jenis sabu dan alat isap ditemukan bersamanya. Bunga ditahan. Hakim memvonisnya masuk Balai Rehabilitasi BNN di Tanah Merah, Samarinda, selama 11 bulan.

Ketika tiba di pintu gerbang balai rehabilitasi, Bunga seperti orang linglung. Ia sama sekali tak tahu mengenai balairehabilitasi. Hanya dengan kepasrahan, ia mengikuti seluruh program rehabilitasi. Sebelas bulan berlalu, Bunga yang saat ini telah mahir berbahasa Indonesia akhirnya menyelesaikan “pendidikan”. Ketika ditemui kaltimkece.id, Bunga bahkan telah menguasai bahasa Inggris.

“Saya merasa diterima dan dihargai di sini. Memang, pengaruh narkoba masih terasa di tubuh saya,” tutur Bunga. Keluar dari balai rehabilitasi, Bunga yang telah berusia 24 tahun berencana pulang ke kampung halaman. Ia sangat rindu orang tua. Bunga juga bertekad tak mengulangi kesalahan dan menerapkan ilmu dari Balai Rehabilitasi BNN.

Program Balai Rehabilitasi BNN

Bunga adalah satu dari ratusan klien --sebutan mereka yang mengikuti rehabilitasi-- di Balai Rehabilitasi BNN, Tanah Merah. Kamis pagi, 15 Agustus 2019, kaltimkece.id datang ke fasilitas ini. Sebelum masuk ke balai, reporter kaltimkece.id wajib melewati tiga kali pemeriksaan sebelum mencapai pagar utama bangunan. Pengunjung yang telah diperiksa diberi tanda pengenal khusus yang digantung di leher dengan tali merah.

Di pintu masuk, suara riuh para klien sudah terdengar. Mereka rupanya sedang mengikuti lomba voli untuk menyambut hari jadi ke-74 Republik Indonesia.

"Selamat datang", sapa Bina Ampera Bukit, kepala Balai Rehabilitasi BNN Tanah Merah, menyambut dengan hangat. Dalam liputan ini, reporter kaltimkece.id didampingi humas BNN Provinsi Kaltim, Haryoto.

Balai Rehabilitasi BNN Tanah Merah diresmikan pada 11 Agustus 2014 oleh Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak. Dalam peresmian, hadir Kepala BNN RI Anang Iskandar. Menurut Bina Ampera, balai rehabilitasi memiliki empat dokter, 23 perawat, dan 10 psikolog. Balai ini memiliki kapasitas 214 klien.

"Tahun ini, dari Januari hingga Agustus 2019, kami telah merehabilitasi 199 klien atau pecandu narkotika. Saat ini, 93 klien masih menjalani rehabilitasi,” jelas Bina Ampera.

Dari 199 klien, 106 orang telah keluar. Sebanyak 80 klien yang keluar telah melewati program lengkap. Sisanya, 26 klien yang lain, ditarik keluarga dengan berbagai alasan. Beragam alasannya. Contohnya, klien adalah tulang punggung keluarga atau hendak dinikahkan. Dari 26 klien yang telah keluar atau ditarik keluarga, tiga di antaranya atas izin dari balai rehabilitasi. Ketiganya diketahui memiliki masalah kesehatan yang sukar ditangani yakni mengidap jantung berat, gangguan jiwa berat, dan tuberkolosis.

Usia para klien di balai rehabilitasi beragam. Paling muda 15 tahun, tertua 60 tahun. Mereka dari berbagai latar belakang dan profesi. Ada pelajar, pegawai swasta, pengusaha, aparatur sipil negara, hingga aparat keamanan. “Tetapi yang paling banyak adalah yang tak memiliki pekerjaan,” lanjut kepala balai.

Secara tertulis, Balai Rehabilitasi BNN Tanah Merah hanya menerima klien berusia 15 sampai 45 tahun. Faktanya, mereka pernah merehabilitasi anak berusia 8 tahun hingga klien 60 tahun. Klien terbanyak berusia produktif di bawah 30 tahun. Menurut Bina Ampera, salah satu penyebab klien dari rentang usia ini rentan terpengaruh narkoba adalah broken home.

Balai Rehabilitasi BNN Tanah Merah memiliki dua program berdurasi 3 bulan dan 6 bulan. Seluruh biaya rehabilitasi ditanggung pemerintah. Inti program balai rehabilitasi adalah therapeutic community (TC) yang telah dimodifikasi, disebut individual treatment plan. Program ini disesuaikan dengan kebutuhan setiap klien. Para klien dibawa dalam suasana keluarga. Mereka harus menjalankan peran di dalam keluarga.

"Tatkala satu peran dalam keluarga tak dijalankan, membuat anak merasa rendah diri dan diabaikan. Di sinilah fungsi itu dikembalikan,” terang Bina Ampera yang kini berusia 53 tahun. Sebagai contoh, ketika klien di rumah adalah seorang ayah, fungsi mereka sebagai ayah dijalankan di balai rehabilitasi. Setelah melewati program rehabilitasi, baik 3 maupun 6 bulan, klien akan dinilai. Ada kriteria untuk menyatakan klien lulus. Salah satunya mengikuti tiga kali seminar narkotika seperti di sekolah.

Kaltim Masih Darurat Narkoba

Peredaran narkotika di Kaltim masih tinggi. Pada 2018, Bumi Etam menempati ranking kelima peredaran narkoba tertinggi di Indonesia dari 34 provinsi. Peringkat ini sebenarnya turun setelah sebelumnya Kaltim di posisi ketiga.

Baca juga:

BNNP Kaltim mencatat seluruh kasus yang telah diungkap BNNP Kaltim, BNNK Samarinda, dan BNNK Balikpapan. Pada 2017, total terdapat 89 kasus dengan 128 tersangka. Barang bukti adalah 1.477,62gram sabu-sabu, 41 butir ekstasi, dan 1.302 gram ganja bersama 14 pohon. Pada 2018, terdapat 86 kasus, 128 tersangka, 2.072,03 gram sabu-sabu, 258 butir ekstasi, dan 1.215 gram ganja. Tahun ini, sampai Agustus 2019, sudah 30 kasus yang ditangani BNNP Kaltim. (*)

 

Editor: Fel GM

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar