Lingkungan

Bangai Mahakam Terparah, Sudah 1.643 Petani Keramba Terdampak, Kerugian Miliaran Rupiah

person access_time 3 years ago
Bangai Mahakam Terparah, Sudah 1.643 Petani Keramba Terdampak, Kerugian Miliaran Rupiah

Ikan-ikan mati di keramba di Desa Rempanga, Kecamatan Loa Kulu, Kukar (foto: aldi budiaris/kaltimkece.id)

Air bangai di Sungai Mahakam menyebabkan kematian massal ikan di keramba. Kerugian ditaksir miliaran rupiah.

Ditulis Oleh: Aldi Budiaris
Kamis, 10 Juni 2021

kaltimkece.id Wajah Kusnuri nampak lesu melihat hamparan keramba miliknya di Desa Rempanga, Kecamatan Loa Kulu, Kutai Kartanegara. Lelaki 47 tahun itu pasrah mendapati ribuan ikan yang mati. Padahal, ikan nila dan ikan mas yang ia budi dayakan sebentar lagi sudah bisa dipanen. Apa daya, air Sungai Mahakam sedang bangai atau bangar.

Kamis, 10 Juni 2021, Kusnuri menuturkan kepada reporter kaltimkece.id perihal keramba yang ia kelola. Menjadi petani keramba sejak 2009, ia punya 60 keramba. Ketika sedang mengurus keramba-keramba tersebut, Kusnuri menyadari air Sungai Mahakam mulai bangai pada Ahad, 6 Juni 2021. Sungai Mahakam yang airnya berwarna cokelat berubah kemerah-merahan.

“Waktu saya sebar pakan, ikan seperti tak nafsu makan. Setelah itu, mati satu per satu,” terang Kusnuri. Ia tidak bisa berbuat banyak. Ikan-ikan itu tak sempat dipanen karena keburu mati. Di samping itu, bobot ikan juga belum ideal untuk dipanen.

Kusnuri mengakui bahwa bangai kali ini sangat parah. Paling parah malah. Hanya dalam empat hari, 400 kilogram ikan mati di kerambanya. Jika harga partai ikan tersebut adalah Rp 30.000 per kilogram, ia sudah menderita kerugian Rp 12 juta, baru dari ikan yang mati. Belum termasuk ikan hidup yang terpaksa dipanen sebelum waktunya.

"Yang masih hidup dan layak jual, ya, dijual. Harganya miring, Rp 20 ribu per kilogram. Kalau dihitung-hitung, saya rugi Rp 50 juta," jelasnya.

Di tempat terpisah, Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kukar, Muklis, membenarkan bahwa bangai kali ini adalah yang terparah. Sungai Mahakam memang pernah dilanda fenomena bangai pada 2015 dan 2017. Akan tetapi, kejadian kali ini berbeda. Ikan yang mati sangat banyak.

DKP Kukar sudah mendata pembudi daya ikan air tawar di Kecamatan Tenggarong dan Kecamatan Loa Kulu. Setidaknya, ada 1.643 petani keramba yang terdampak air bangai di dua kecamatan tersebut. DKP Kukar menaksir, total kerugian yang diderita para pembudi daya mencapai miliaran rupiah. Sebagai tambahan, Muklis mengatakan, ikan yang diambil dan dikonsumsi masyarakat disebut masih layak dan aman. Bangai terjadi secara alamiah, bukan faktor kesengajaan atau kerusakan lingkungan.

Hasil Pemeriksaan DKP Kukar

Fenomena bangai disebut sebagai siklus tahunan. Muklis menjelaskan, pasang air sungai menyebabkan tumbuhan di sepanjang Sungai Mahakam terendam sehingga terjadi pembusukan. Tanaman yang mati ini membawa zat mikroba yang melepaskan asam organik sehingga memengaruhi kadar oksigen di dalam air. Kurangnya kadar oksigen menyebabkan air menjadi bangai.

Berdasarkan sampel yang diambil di bagian hulu Tenggarong, DKP menyebutkan tingkat keasaman air (pH) hampir normal yaitu 5 sampai 6 (sedikit asam). Sementara itu, kadar oksigen cenderung sangat rendah yakni 0,1 ppm sampai 0,2 ppm (part per million). Normalnya, oksigen terlarut (dissolve oxygen) ini adalah 6 ppm sampai 7 ppm.

Ada perbedaan tingkat keasaman yang diperoleh DKP dengan uji Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Mulawarman. FPIK Unmul mengambil titik uji di Loa Kulu Kota, Kecamatan Loa Kulu. Hasilnya, pH air 8,5 atau sedikit basa, bukan asam sebagaimana biasanya air bangai.

“Anomali dalam radius tertentu ini, atau ketidakonstanan tersebut, memerlukan penelitian lebih lanjut," jelas Muklis. DKP masih menunggu hasil uji laboratorium lanjutan.

Dalam laporan sementaranya, guru besar dari FPIK Unmul, Prof Esti Handayani Hardi, menduga ada yang tidak biasa dari bangai di Sungai Mahakam kali ini. Biasanya, air sungai yang bangai bersifat asam, kali ini justru basa.

Temuan ini bertentangan dengan teori bangai yang disebabkan pembusukan material organik. Menurut teori tersebut, pembusukan bahan organik seperti tumbuhan, rerumputan, hingga sampah melibatkan mikroba dalam jumlah besar. Pada saat kemarau, mikorba melepaskan asam organik di samping menghabiskan oksigen dalam air. Itu sebabnya, pH air makin turun atau bersifat asam.

Kondisi bangai di Sungai Mahakam juga bertentangan dengan penelitian berjudul Comparison of Relationships Between pH, Dissolved Oxygen and Chlorophyll a for Aquaculture and Non-aquaculture Waters (2011). Menurut jurnal tersebut, tingkat keasaman air berbanding lurus dengan kadar oksigen terlarut. Jika kadar oksigen turun drastis, pH makin rendah atau makin asam.

“Kelihatannya ini bukan bangai biasa yang disebabkan proses pembusukan oleh mikroba,” jelas Prof Esti. Lagi pula, sambungnya, kondisi bangai biasanya tidak sampai menimbulkan kematian massal ikan. Biota sungai yang kekurangan oksigen di dalam air umumnya hanya megap-megap dan berusaha tetap di dekat permukaan air. Prof Esti mengatakan, masih menunggu hasil uji laboratorium untuk mengetahui faktor-faktor yang memperparah bangai di Sungai Mahakam tahun ini. (*)

Editor: Fel GM

Baca juga artikel tentang bangai di Sungai Mahakam:
folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar