Ragam

Laporan dari Tawau-1: Menjemput Mimpi Anak-Anak TKI

person access_time 5 years ago
Laporan dari Tawau-1: Menjemput Mimpi Anak-Anak TKI

Foto: Fel GM (kaltimkece.id)

Ratusan ribu warga Indonesia bekerja di Tawau, Malaysia. Bergulat dengan masalah pendidikan anak-anak mereka yang lahir di sana. 

Ditulis Oleh: Fel GM
Minggu, 10 Maret 2019

kaltimkece.id Tanah gersang yang dipenuhi pokok kelapa sawit serasa dibakar terik matahari. Namun, Steben Herin tak menghiraukan panasnya udara Tawau, kota terbesar ketiga di Negara Bagian Sabah, Malaysia. Mengenakan seragam merah putih, murid kelas lima itu sibuk menyelesaikan soal-soal matematika. Gurunya memberi tugas perkalian pecahan desimal.

Kamis, 28 Februari 2019, Steben bersama lima teman sekelasnya bubar tepat pada tengah hari. Mereka sempat bermain sejenak di sekitar sekolah sebelum pulang. Steben tidak pernah jajan karena orangtuanya memang tak pernah memberi uang saku. Bocah berdarah Nusa Tenggara Timur ini punya cita-cita menjadi guru. Ia sudah punya rencana melanjutkan pendidikan di Nunukan, Kalimantan Utara. 

Keesokan pagi, Jumat, 1 Maret 2019, Steben dan 330 teman sekolahnya tetap masuk sekolah. Namun, pelajaran ditiadakan. Sekolah yang berdiri di tengah hamparan perkebunan kelapa sawit itu menerima kunjungan. Rombongan direksi dan manajemen Bankaltimtara bersama anggota komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Otoritas Jasa Keuangan, Tirta Segara, mendatangi sekolah tersebut. Reporter kaltimkece.id turut serta sebagai pengunjung. 

Steben dan seluruh siswa sekolah adalah anak tenaga kerja Indonesia. Mereka menuntut ilmu di Community Learning Center (CLC) Tunas Perwira. Adapun CLC, merupakan sebutan bagi lembaga pendidikan nonpemerintah yang dikhususkan untuk anak-anak TKI di Malaysia. Sekolah ini hanya sampai tingkat SMP. 

CLC didirikan karena banyak TKI di Malaysia. Sebagian besar mereka bekerja di perkebunan kelapa sawit.  Anak-anak TKI yang lahir di Malaysia kemudian sukar mendapat akses pendidikan formal di sekolah-sekolah milik Kerajaan Sabah.

Menukil catatan Konsulat Republik Indonesia di Tawau, jumlah CLC di Tawau mencapai 58 buah. Sementara di seluruh Negara Bagian Sabah ada lebih 200 CLC dengan total 7 ribu murid. Adapun keistimewaan CLC, siswa-siswi boleh berseragam sekolah Indonesia. Pelajaran yang diberikan juga mengikuti Kurikulum 2013. Di CLC Tunas Perwira yang dicapai sekitar 45 menit dari pusat Kota Tawau, hanya terdiri dari satu bangunan. Sekolah yang berdiri di sebelah menara telekomunikasi itu cuma punya satu ruangan yang dibagi tiga oleh lembaran tripleks tipis. Setiap ruangan diisi dua kelas sekaligus.

Ukuran bangunan sekolah sekitar 20 meter x 15 meter. Atapnya seng dan berdinding papan tipis yang usang. Lantainya beton dengan acian semen yang tidak rata. Tidak ada jendela. Sementara tinggi dinding sekolah hanya satu setengah meter. Setengah meter sisanya, di bagian atas dinding, dipasangi terali dari kawat besi. Inilah yang disebut jendela. Di bawah “gubuk” itulah, ratusan anak belajar. Mereka duduk di depan meja yang terbuat dari dua bilah papan lapuk. 

“Beginilah keadaan kami. Meskipun terbatas, anak-anak tetap bersemangat menuntut ilmu,” tutur Yasinta Sipa Herin, 36 tahun, guru CLC Tunas Perwira. Yasinta juga anak TKI. Dia menamatkan pendidikan setingkat SMA di sekolah milik Kerajaan Sabah. Sekarang, perempuan asal NTT itu menyelesaikan program sarjana di Universitas Terbuka. 

Yasinta bercerita, anak-anak TKI pada masa lalu bisa diterima di sekolah-sekolah kerajaan. Namun, seiring membeludaknya TKI di Tawau, banyak anak Indonesia yang lahir di negeri jiran. Mereka kebanyakan tidak memiliki dokumen seperti akta kelahiran, apalagi status kewarganegaraan setempat. Ketiadaan dokumen membuat anak-anak Indonesia kesulitan mengakses layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan.

Padahal, menurut Kepala Konsulat Republik Indonesia di Tawau, Sulistiyo Djati Ismoyo, jumlah TKI di Tawau menembus 150 ribu jiwa. Hampir setara dengan jumlah penduduk Bontang. “Angka 150 ribu itu hanya yang resmi alias yang memiliki dokumen. TKI yang tidak punya dokumen lebih banyak lagi,” terang Sulistiyo. 

Hasil Perjuangan TKI

Tawau adalah kota berpenduduk 310 ribu jiwa, kira-kira sepertiga dari penduduk Samarinda. Hampir setengahnya, sekitar 150 ribu jiwa, adalah imigran Indonesia. Kota ini berseberangan dengan Sebatik, pulau di Kalimantan Utara yang dimiliki Indonesia dan Malaysia. Hanya berseberangan selat, mirip seperti Balikpapan dan Penajam Paser Utara, Tawau menjadi tujuan tenaga kerja Indonesia sejak dulu kala. 

Thomas Temehu Temu, 60 tahun, adalah satu di antaranya. Lelaki kelahiran Larantuka, NTT, ini sudah menginjak Tawau sejak 1984. Ia memulai karier sebagai TKI dengan bekerja di perusahaan kayu. Bermula dari Sekolah Minggu di gereja, Thomas mengetahui banyak orangtua yang minta anaknya diajarkan baca tulis. Thomas pun mengajar paruh waktu. Selepas bekerja, ia memberi pelajaran kepada anak-anak pukul 16.00 sampai 20.00 di rumahnya.

Waktu berjalan, tak terasa Thomas sudah mengajar ratusan anak pekerja migran. Pada mulanya, belajar-mengajar berjalan mulus. Orangtua murid yang sebagian besar bekerja di perkebunan sawit mendukung kerja-kerja sosial Thomas. 

Pendidikan 'ilegal' ini mulai tercium kepolisian Malaysia. Thomas pun didatangi petugas. “Waktu itu, jam sembilan pagi. Saya sedang mengajar ketika polisi Malaysia datang. Kebetulan saya kenal polisi itu. Dia tanya, Uncle (paman), kenapa kamu buat ini?" kata Thomas, menceritakan kisahnya.

Thomas menjawab bahwa ia hanya mengerjakan kebaikan. Anak-anak TKI harus bisa membedakan baik dan buruk. Saat itu, anak-anak TKI mulai belajar merokok. Ada yang pergi menjadi gelandangan karena tak punya pendidikan. Polisi Malaysia rupanya mengerti. Namun, mereka meminta Thomas berkoordinasi dengan Konsulat RI. 

"Baru pada 2011, CLC diakui. Sekarang kami bisa menerbitkan ijazah untuk lulusan CLC," lanjut Thomas.

Pengakuan CLC dari pemerintah Negara Bagian Sabah tidak lepas dari peran Konsulat RI. Menurut Sulistoyo selaku kepala konsulat, pihaknya berupaya meyakinkan pemerintah dan perusahaan perkebunan sawit untuk mendirikan CLC. Dampak negatif dari anak-anak TKI yang tidak mengenyam pendidikan, pada akhirnya, bisa merugikan semua pihak. 

“Lagi pula, perkebunan kelapa sawit di sini sangat bergantung dengan tenaga kerja kita. Jadi, meskipun fasilitas gedung sekolah masih jauh dari kata layak, mereka tetap mendirikan CLC,” tuturnya.

Amiruddin Hamid, 45 tahun, bersama istrinya, Lia Dauna, 40 tahun, telah menetap di Tawau sejak 2008. Pasangan asal Sulawesi Barat ini memiliki lima anak. Empat dari lima anak Amiruddin bersekolah di CLC Tunas Perwira. Sementara anak sulung mereka sudah lulus dan melanjutkan pendidikan di sebuah SMK di Kalimantan Selatan. Setelah lulus, si sulung rencananya kembali ke Sulawesi Barat dan mencari kerja di sana. 

Amiruddin sebenarnya tidak punya masalah dokumen maupun biaya pendidikan. Putra sulungnya dulu belajar di sekolah kerajaan. Namun, ketika mengetahui CLC didirikan tak jauh dari rumahnya, Amiruddin memindahkan anaknya. Menurutnya, sekolah Indonesia lebih cocok karena kesamaan bahasa, budaya, dan kurikulum. Walaupun, fasilitas dengan sekolah milik kerajaan bak bumi dan langit.

“Yang jelas, pendidikan ini penting. Saya tidak mau anak-anak menjadi TKI seperti saya lagi,” tutur Amiruddin. 

Kebanyakan TKI di Tawau memang tidak memiliki pendidikan yang baik. Kesempatan kerja di Tanah Air yang terbatas membuat mereka merantau ke negeri orang. “Sekarang zaman sudah berbeda. Anak-anak di sini, alhamdulillah, mendapat pendidikan yang baik. Walaupun setelah lulus, kami harus berjauhan karena anak-anak melanjutkan pendidikan di Indonesia, tidak mengapa,” lanjut Amiruddin. 

Anak-anaknya, kata dia, punya cita-cita masing-masing yang harus dijemput di Bumi Pertiwi. (bersambung) 

folder_openLabel
shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar