Balikpapan

Kisah Pengolah Sampah Berpenghasilan Ratusan Juta

person access_time 1 year ago
Kisah Pengolah Sampah Berpenghasilan Ratusan Juta

Herry Wijaya, warga Balilkpapan, memperlihatkan tempat pengolahan sampahnya. FOTO: SEPTIANUS HENDRA-KALTIMKECE.ID

Warga Balikpapan ini meraup omzet Rp 485 juta per bulan dari sampah. Rezeki yang datang dari sebuah peristiwa pahit.

Ditulis Oleh: Septianus Hendra
Rabu, 14 Juni 2023

kaltimkece.id Kabar pahit itu diterima Herry Wijaya pada 2013 silam. Tahun itu, warga Balikpapan tersebut diberhentikan dari pekerjaannya sebagai karyawan perusahaan tambang batu bara. Pikirannya sangat kalut karena pada saat yang bersamaan, istrinya mengandung anak kedua.

Tak ingin terlalu lama larut dalam kesedihan, Herry segera bangkit dan mencari cara menghidupi keluarganya. Pesangon yang diterimanya ia belanjakan membeli mesin pencacah plastik. Ia juga mendirikan sebuah lapak di Kelurahan Sepinggan, Balikpapan Selatan. Lapak tersebut diberi nama Pusat Oelahan Daur Ulang Rumahan (Pandora).

“Lahan yang menjadi lapak tersebut punya warga. Saya hanya dipinjamkan,” kata lelaki berusia 40 tahun itu kepada kaltimkece.id, Selasa, 13 Juni 2023.

Di lapak tersebut, Herry bersama sejumlah anak buahnya mencacah plastik-plastik bekas seperti botol dan jeriken menggunakan mesin yang dibelinya tadi. Plastik-plastik ini ia beli dari pengepul, bank sampah, dan sekolah-sekolah yang mengumpulkan plastik bekas. Harga belinya adalah Rp 2 ribu hingga Rp 6 ribu per kilogram, tergantung tebal-tipisnya plastik. Ada pula warga yang memberikan plastik bekas secara cuma-cuma kepada Herry.

“Awalnya, saya memiliki 21 karyawan. Mereka merupakan masyarakat yang tinggal dekat lapak Pandora,” sebutnya. Hasil cacahan kemudian dijualnya seharga Rp 10 ribu per kg ke sejumlah pasar di dalam maupun luar negeri. Salah satu negara tujuannya adalah Korea. Sedikit demi sedikit, Herry mulai mendapatkan keuntungan. Asap di dapurnya pun terus mengepul.

Melihat ada peluang dari mencacah plastik, Herry mengembangkan usahanya. Tiga tahun setelah lapak Pandora berjalan, ia membuat aplikasi bank sampah digital. Dari aplikasi tersebut, sampah-sampah plastik yang dikumpulkan masyarakat terkonversi menjadi poin. Poin-poin tersebut dapat ditukarkan menjadi barang yang diproduksi usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM. Sempat diganjar penghargaan, aplikasi tersebut tak bertahan lama.

“Pada 2018, saya menutup aplikasi tersebut karena terkendala biaya pengoperasinya,” ucapnya.

Suasana lapak yang menjadi tempat Herry Wijaya mengolah sampah. FOTO: SEPTIANUS HENDRA-KALTIMKECE.ID

Herry kemudian fokus mengembangkan usaha pengolahan sampah rumahan di lapak Pandora. Usaha ini mendapat ujian berat saat Balikpapan dilanda pandemi Covid-19 pada 2020. Kebijakan pembatasan sosial berskala besar yang dibuat pemerintah memaksa Herry menghentikan aktivitas di Pandora. Ia besama para karyawannya banyak menghabiskan waktu di rumah untuk menghindari penularan Covid-19. Kondisi ini dimanfaatkan Herry untuk mempelajari energi baru terbarukan.

Dari ilmu tersebut, Herry membuat biodiesel dari minyak jelantah atau minyak goreng. Hasil inovasi ini ia unggah di akun Instagram-nya. Postingan tersebut direspons Pertamina. “Ada orang Pertamina menghubungi saya untuk menawarkan kerja sama,” ucapnya.

Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Herry segera menyambut tawaran tersebut. Melalui program corporate social responsibility (CSR), ia dan Pertamina mendirikan pengolahan sampah bernama Pertamina Better (Balikpapan Energi Terbarukan). Dari pengolahan ini, Pertamina menyabet Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (Proper) Emas. Penghargaan yang digagas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini betujuan memberi apresiasi kepada perusahaan yang sukses mengelola lingkungan hidup dengan baik.

“Alhamdulillah, kami berhasil memecahkan telur. Sebelumnya, belum pernah mendapatkan Proper Emas,” kata Herry.

Setelah itu, Herry bersama rekan-rekannya yang pernah menjadi lawannya di perlombaan mendirikan perusahaan start up yang bernama Banana & Partner. Perusahaan ini berfokus di bisnis pengolahan sampah organik, sampah plastik, dan minyak jelantah. “Kami mengusung tema waste to energy dan waste to material,” jelasnya.

Bentuk biodiesel yang dibuat Herry dari minyak jelantah bekas. FOTO: SEPTIANUS HENDRA-KALTIMKECE.ID

Biodiesel yang dibuat Herry tidak dijual melainkan ditukarkan dengan minyak jelantah dari nelayan di Balikpapan. Komposisinya, satu liter biodiesel ditukar dengan dua liter minyak jelantah. Herrry menyebutkan, saat beraktivitas di laut, nelayan selalu memasak. Ia kemudian berpesan kepada nelayan agar mengumpulkan minyak jelantah bekas memasak.

“Sebagian biodiesel saya pakai untuk mesin pengolah sampah saya,” sebutnya. 

Kini, Banana & Partner mengolah 1.520 ton sampah dan 32 ton minyak jelantah. Barang-barang tersebut diolah menjadi briket, biocharcoal, pelet kayu, biodiesel, dan cacahan sampah plastik. Selain di Balikpapan, Banana & Partner membuka cabang di Cisauk (Tanggerang) dan Yogyakarta. “Omzet dari usaha ini adalah Rp 485 juta per bulan,” sebut Herry.

Selain menjalankan roda usahanya, Herry juga mengajar di kampus merdeka. Mahasiswa di kampus ini berasal dari berbagai kampus, di antaranya, Universitas Indonesia, Universitas Brawijaya, dan Institut Teknologi Bandung. “Ngajar-nya itu tentang green bisnis, bagaimana bisnis menjawab environmental social governance,” tutupnya. (*)

shareBagikan Artikel Ini


Artikel Terkait


Tinggalkan Komentar